Gunung Dan Hutan Ingin Rebahan


Sejak berkeliarannya coro (jawa : kecoa) di berbagai negara banyak orang takut untuk kemana-mana. Bukan hanya cewek aja, cowok pun sama untuk kali ini. Eh, bukan kecoa tapi corona atau covid 19. Keren kan yah namanya, coba kalo lahirnya di jawa mungkin namanya codot 19 atau penemunya adalah panji mungkin namanya caraga, atau juga kalau lahirnya antara tahun 1966 - 1998 mungkin namanya coroba (corona orba). Kok malah bahas politik sih. Heuheu....

Dari pandemi yang terjadi menimbulkan dampak yang besar bagi seluruh elemen masyarakat baik yang masih sekolah, bekerja, bahkan atlet rebahan. Kok bisa atlet rebahan kena dampaknya? Ya iya karena dia makin banyak saingannya. Hal ini terjadi setelah pemerintah menghimbau masyarakat untuk bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, dan melakukan semua hal dari rumah saja. Hal ini sebagai upaya untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Sampai akhir-akhir ini viral dengan tagar #dirumahaja di berbagai media sosial. Bahkan LDR (long distance relation) yang paling di anjurkan untuk saat ini. Heuheu... ada yang semakin rindu nih...

Lalu bagaimana kabar aku? Kamu? Kita? Gen pemburu sunrise di ketinggian?

Yang suka kemana aja. Suka mendaki gunung dan lewati lembah kayak soundtrack ninja hatori.

Para pendaki jangan putus asa yah, bagaimanapun kita harus ikuti himbauan pemerintah tetap #dirumahsaja untuk melawan corona.

Ternyata bukan hanya berdampak pada aktivitas akademik dan juga industri saja. Tapi juga berdampak pada satu golongan pemburu sunrise di ketinggian atau para pendaki gunung. Mirisnya akhir-akhir ini banyak yang sampai menjual peralatan mendakinya di toko online dengan dalih karena tidak dipakai atau nganggur, dampak dari pandemi dan banyak juga para pengusaha rental outdoor yang semakin sepi pembeli. Semua rencana pendakian yang telah direncanakan jauh-jauh hari juga gagal sejak negara api (corona) menyerang. Bahkan, dari website penjelajah.com dapat kita lihat jalur-jalur pendakian yang mulai banyak ditutup. Mulai dari jalur pendakian gunung-gunung di jawa tengah seperti gunung merbabu dan lawu,di jawa timur seperti gunung semeru, dan gunung-gunung lain di indonesia. Hal ini membuat jiwa para pendaki semakin meronta-ronta merindukan ketinggian.

"Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita”

Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita?

Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang, sepenggal lirik lagu dari sang legendaris Ebiet G. Ade ini mengingatkan kita tentang apa yang telah kita perbuat dengan apa yang terjadi saat ini. Bukan berarti pandemi ini hanyalah bencana yang tiada arti. Tapi ada hal besar di balik semua ini jika kita berpikir secara jernih.

Terkhususnya ada hikmah besar bagi para pendaki gunung.

Pada awalnya kegiatan pendakian hanya dilakukan oleh klub-klub pencinta alam

Akan tetapi semakin kesini semakin banyak yang melakukan aktivitas pendakian dari berbagai kalangan, bukan untuk refreshing dari kepenatan hidup yang dialami atau liburan saja bahkan hanya untuk eksistensi dirinya agar tidak absen di media sosial. Bahkan hingga ada ratusan orang yang mendaki tiap harinya. Semenjak banyaknya dibuka jalur pendakian di gunung-gunung membuat ekosistem alam rusak di sepanjang jalur yang dilalui. Tidak jarang orang yang melewati lokasi tertentu akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Ulah tangan para pendaki yang tidak bertanggung jawab menjadi penyebab utama kerusakan alam terjadi. Semakin banyak orang yang mendaki juga berdampak  besar  tingginya gunung-gunung saat ini. Bukan tinggi karena minum susu kaya kalsium yah, tapi tinggi karena tumpukan sampah. Banyak pendaki yang membuang sampah sembarangan, menginjak tanaman sehingga menyebabkan tanaman mati atau tercabut. Bukan hanya masalah sampah saja tapi juga masalah kotoran manusia yang dapat mencemari air dan lingkungan. Selain itu api yang tak bisa lepas dari aktivitas para pendaki juga memiliki resiko besar terjadinya kebakaran jika para pendaki tak berhati-hati dalam menyalakan dan mematikan api.

Pandemi yang menyebabkan ditutupnya jalur pendakian akan berdampak baik pada hutan dan gunung. karena akan berlangsungnya restorasi ekosistem secara alami. Restorasi ekositem sendiri adalah upaya pengembalian unsur hayati (flora dan fauna) dan nonhayati (tanah, iklim, topografi) suatu kawasan kepada aslinya. Dengan tidak adanya aktivitas pendakian, ekosistem akan perlahan kembali seperti semula disepanjang jalur. Apalagi saat ini masih masuk dalam musim penghujan maka semakin mendukung proses restorasi ekosistem terkhususnya flora.

Di beberapa gunung sendiri juga sudah menerapkan program restorasi ekosistem secara rutin tiap tahunnya seperti yang dilakukan balai TNBTS (taman nasional bromo tengger semeru) di gunung semeru. Selain itu juga, bisa menjadi waktu yang tepat untuk pembersihan sampah, reboisasi, pendataan ekosistem, pemulihan jalur, dan lain-lain.

Gunung dan hutan ingin rebahan dulu di tengah pandemi ini. Mereka sudah lelah bermain dengan manusia dan ingin menjauh dari aktivitas manusia yang tak bisa bertanggung jawab. Namun apa daya, dia tak bisa kemana-mana. Manusia-manusialah yang seharusnya menjauh dari gunung dan hutan kalau tak bisa menjaganya dan berhenti untuk merusaknya.

Rindu gunung boleh, nyampah jangan.

Dan tetap #dirumahaja

Salam lestari !!! (Dahlan Amien)

2 Komentar

  1. bagus ini. ya semua kejadian dan peristiwa pasti ada hikmahnya termasuk covid 19 ini bagaimana manusia hanya beraktifitas di dalam rumah dan minim aktifitas d luar (berkendara) berdampak pada membaiknya udara yg ada di bumi ini.
    beberapa mediapun memberitakan membaiknya lapisan ozon akibat dari #WFH ini. so, mari berbenah diri bersama sama. semua peristiwa pasti ada hikmah. tetap waspada dan siaga.

    salam lestari
    ojo lali dolane

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama